
PERAN GENERASI MUDA DAN AKTUALISASI PANCASILA
*Oleh: Prakoso Yudho Lelono
Setiap 1 Oktober, kita kembali memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Namun, pertanyaan yang layak diajukan: apakah kesaktian itu masih hidup dalam keseharian generasi muda, atau sekadar menjadi ritual tahunan yang diwarnai upacara dan hafalan sila? Di tengah hiruk-pikuk politik identitas dan derasnya arus informasi di media sosial, Pancasila seakan hadir sebagai slogan yang dikutip, tetapi tidak sungguh-sungguh dipraktikkan. Ironisnya, kelompok yang seharusnya menjadi motor penggerak aktualisasi nilai Pancasila—yakni generasi muda—kadang justru terjebak dalam polarisasi dan konten-konten dangkal yang berjarak dari semangat persatuan dan keadilan sosial.
Generasi muda sering digambarkan sebagai pewaris masa depan bangsa, agen perubahan, dan pilar utama demokrasi. Namun, seberapa jauh mereka benar-benar memahami Pancasila. Pancasila bukan hanya sebagai teks hafalan. Tetapi sebagai etika hidup yang membimbing sikap. Hal ini semakin relevan ketika kita menyaksikan betapa cepatnya informasi (baik yang mencerahkan maupun yang menyesatkan) menyebar melalui media sosial, ruang yang paling dekat dengan kehidupan anak muda hari ini.
Tidak bisa dipungkiri, banyak anak muda mampu menyebutkan lima sila Pancasila dengan fasih, tetapi hanya sedikit yang berusaha menggali makna filosofis dan implikasi sosial dari sila-sila itu. Ketika Sila Ketiga berbunyi “Persatuan Indonesia”, apakah hal itu hanya sebatas barisan kata, atau benar-benar diwujudkan dalam perilaku sehari-hari, seperti menolak dan menahan diri turut serta akan ujaran kebencian. Menahan diri dari penyebaran berita hoaks, atau membangun ruang diskusi yang sehat di komunitas dan media sosial?
Sayangnya, polarisasi politik beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa sebagian generasi muda lebih mudah terbawa arus kontestasi yang sempit daripada memegang teguh nilai persatuan. Media sosial kerap menjadi panggung pertempuran opini yang penuh caci maki, alih-alih menjadi wadah dialog konstruktif. Sila Keempat tentang musyawarah mufakat seakan hilang dalam derasnya debat kusir. Sementara Sila Kedua tentang kemanusiaan yang adil dan beradab sering kali dikalahkan oleh ujaran kasar yang viral. Di sinilah tantangan nyata aktualisasi Pancasila: bagaimana nilai-nilai luhur tidak berhenti pada upacara, simbol, atau hafalan, melainkan masuk ke ruang digital yang setiap hari memengaruhi pikiran dan sikap generasi muda.
Namun, ditengah kondisi seperti ini, kita tak patut untuk hanya bermuram durja dan berhenti pada sikap pesimistis. Banyak juga contoh anak muda yang berusaha menghidupkan Pancasila dalam aksi nyata. Komunitas literasi yang membuka ruang baca gratis di kampung-kampung, gerakan lingkungan yang memperjuangkan kelestarian alam, hingga inisiatif kreatif di media sosial yang menyebarkan konten edukatif dan toleran. Semua itu adalah bukti bahwa nilai-nilai Pancasila bisa aktual dan relevan, bahkan di era digital. Mereka membuktikan bahwa menjadi “pancasialis” bukan berarti mengulang jargon, melainkan mengintegrasikan nilai kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial ke dalam tindakan sehari-hari.
Dalam konteks komunitas, generasi muda punya peran besar sebagai penggerak. Misalnya, kegiatan bakti sosial, gerakan berbagi makanan bagi kaum dhuafa, atau program diskusi lintas agama yang digagas di banyak kota besar. Aktivitas sederhana ini adalah wujud nyata sila-sila Pancasila: kepedulian pada sesama, penguatan solidaritas, dan penghormatan terhadap perbedaan. Jika nilai ini dipelihara sejak dini, generasi muda tidak hanya menghafal sila, melainkan merasakan makna hidup bersama dalam keberagaman.
Sementara di media sosial, tantangannya lebih berat. Dunia digital memang rawan dipenuhi dengan narasi kebencian, hoaks, dan ujaran provokatif. Namun, justru di ruang ini generasi muda bisa membuktikan bahwa mereka mampu mengaktualisasikan Pancasila. Dengan membangun konten yang mengedepankan toleransi, memviralkan aksi positif, atau menyuarakan kritik yang santun dan berbasis data. Anak muda bisa menjadikan media sosial sebagai “laboratorium Pancasila.” Keberanian untuk melawan arus negatif dengan kreativitas positif adalah bentuk kesaktian baru Pancasila di abad ke-21 ini.
Momentum Hari Kesaktian Pancasila tahun ini seharusnya tidak hanya menjadi agenda seremonial, tetapi ruang refleksi mendalam, khususnya bagi generasi muda. Apakah kita akan puas menjadi generasi penghafal sila, atau kita berani dan mampu menjadi generasi penggerak yang menjadikan Pancasila sebagai napas perjuangan di tengah tantangan zaman? Pertanyaan ini bukan sekadar retorika, melainkan ajakan untuk melihat diri sendiri: sudahkah kita benar-benar menghadirkan nilai Pancasila dalam sikap, ucapan, dan tindakan?
Pancasila tidak menuntut kita menghafalnya dengan mulut yang fasih. Tetapi menagih konsistensi pada tindakan yang membela kemanusiaan, merawat persatuan, menghidupkan musyawarah, dan memperjuangkan keadilan. Media sosial, komunitas, maupun ruang publik lainnya harus dijadikan laboratorium aktualisasi nilai-nilai tersebut. Jika generasi muda berani mengambil peran ini, maka Pancasila tidak hanya sakti karena pernah menyelamatkan bangsa di masa lalu, melainkan juga akan terus hidup, bekerja, dan menyelamatkan bangsa di masa depan.
*Ketua KPU Kota Balikpapan